Oleh Dahlan Iskan
MUNGKIN kebetulan saja: Dirut PLN diganti lagi. Kemarin. Hanya dua minggu setelah Presiden Jokowi memanggil jajaran direksi dan komisaris Pertamina dan PLN ke Istana.
Di Istana itu Presiden Jokowi ‘mengeluhkan’ –untuk tidak menyebut marah– PLN dan Pertamina kurang membuka diri kepada investor.
Investor, kata Presiden, sebenarnya sudah antre menunjukkan minat yang besar untuk tanam uang di Indonesia, tetapi prosedur di birokrasi dan di BUMN dianggap terlalu ruwet.
Meski terjadi penggantian pucuk pimpinan –rumornya sudah kencang sejak seminggu lalu– tidak akan terjadi guncangan di PLN. Yang duduk sebagai dirut baru adalah Wadirut lama: Darmawan Prasodjo. Umur masih muda: 51 tahun.
Dia sudah tiga tahun menjadi orang dalam PLN. Setahun sebelum wadirut, Prasodjo sudah menjadi komisaris.
Setelah dua dirut berlatar belakang bankir, kini dirut PLN kembali ke orang teknik. Kali ini teknik komputer.
Dr Ir Darmawan Prasodjo adalah lulusan computer science dari Texas A&M University. Itu universitas papan atas di Amerika.
Ia lulus tahun 1994. Ketika berumur 23 tahun.
Darmawan melanjutkan kuliahnya ke S-2 bidang energi. Di kampus yang sama. Khususnya energi dari alam.
Di kampus itu pula Darmawan meraih gelar doktor ekonomi. Ia juga bisa disebut doktor dari Duke University, karena dua universitas tersebut berkolaborasi meluluskannya.
Duke University, Virginia, juga papan atas di Amerika. “Darmawan itu orangnya pinter sekali,” komentar seorang mantan direksi PLN kepada saya.
Darmawan 15 tahun di Amerika. Termasuk pernah jadi peneliti di almamaternya itu.
Darmawan orang Magelang. Lulus SMA di Magelang, di SMAN 1. Ayahnya pernah menjadi kepala SMA Taruna Nusantara yang terkenal itu.
Tamat SMA, Darmawan mendapat beasiswa BPPT ke Texas. Maka ia termasuk ribuan generasi unggul yang dikirim Prof B.J. Habibie ke luar negeri.
Di Google, sampai kemarin, klasifikasi Darmawan masih disebut sebagai politikus. Ia memang termasuk orang-orang pandai yang direkrut PDI Perjuangan.
Sebelum ke politik, Darmawan sempat menjadi kepala jurusan di prodi green energy di Surya University. Lantas masuk ke politik itu.
Jadilah Darmawan deputi I bidang pengendalian, pembangunan, monitoring, dan evaluasi program prioritas Kantor Staf Presiden. Cukup lama: 2015-2019. Waktu jadi komisaris PLN ia masih merangkap di jabatan itu.
Boleh dikata Darmawan bermutasi dari ilmuwan, ke kampus, ke politik, ke analis, lalu ke korporasi.
Dari latar belakang itu terasa bahwa PLN akan ditransformasikan ke era baru green energy. Ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan Presiden Jokowi di Istana itu.
Dalam transformasi itu PLN –yang kini punya utang lebih dari Rp 400 triliun– punya problem berat.
Di satu pihak PLN harus menurunkan biaya –agar lebih efisien untuk bisa membayar utang.
Di lain pihak, green energy itu masih mahal. Untuk ke green energi secara drastis harus membeli listrik lebih mahal, padahal belum tentu PLN bisa menaikkan tarif listrik sesuai dengan kenaikan harga beli.
Yang tersulit adalah ini: perilaku penggunaan listrik di Indonesia. Ketika solar cell menghasilkan listrik hijau, PLN tidak terlalu perlu listrik.
Pemakaian listrik oleh masyarakat sangat rendah pada jam 09.00 sampai 15.00. Ketika PLN sangat perlu listrik (jam 16.00 sampai 23.00) tenaga surya tidak bisa menghasilkan listrik.
Maka PLN harus membeli listrik lebih mahal justru di saat tidak perlu listrik.
Memang PLN sudah mulai punya program ‘menjual listrik hijau ke konsumen prolistrik hijau’ dengan ‘tarif hijau’.
Ke depan memang mulai ada perusahaan yang tidak mau menggunakan listrik yang berasal dari BBM atau batu bara. Perusahaan itu akan mempromosikan produk mereka sebagai ‘produk hijau’ yang harganya bisa lebih mahal. Yang konsumennya bisa lebih fanatik.
PLN sekarang sudah punya sekitar 10.000 MW ‘listrik hijau’. Yakni listrik yang berasal dari geotermal dan PLTA. Ditambah sedikit dari solar cell dan tenaga angin.
‘Listrik hijau’ itulah yang sedang ditawarkan ke ‘perusahaan hijau’: langkah yang kreatif. Padahal, dalam praktik, listrik itu dari mana pun sumbernya menyatu dulu di transmisi.
Utang tinggi ditambah biaya yang akan lebih tinggi memerlukan kecerdasan tertinggi. Darmawan kini menghadapi birokrasi korporasi BUMN yang tingkat kejelimetannya juga sangat tinggi.
(dahlan Iskan)