Aceh Besar – Rencana pembentukan Kabupaten Aceh Raya sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Besar kembali mencuat dan menjadi perhatian publik.
Aspirasi masyarakat dari tujuh kecamatan di wilayah barat Aceh Besar terus menguat, apalagi setelah terpilihnya Abdurrahman Ahmad sebagai Ketua Panitia Pembentukan Kabupaten Aceh Raya.
Sosok Abdurrahman memberi warna baru pada perjuangan ini. Namun, pertanyaan pentingnya: apakah pemekaran ini benar-benar bisa terwujud di bawah kepemimpinannya?
Selama bertahun-tahun, masyarakat di Kecamatan Lhoong, Leupung, Lhoknga, Peukan Bada, Pulo Aceh, Darul Imarah, dan Darul Kamal merasa terpinggirkan dalam pembangunan.
Lokasi yang jauh dari pusat pemerintahan di Jantho membuat akses terhadap pelayanan publik terbatas. Ketimpangan ini memunculkan kesadaran kolektif bahwa menjadi daerah otonomi baru adalah jalan yang masuk akal untuk mempercepat kemajuan wilayah mereka.
Bagi masyarakat tujuh kecamatan tersebut, pemekaran bukan hanya soal administratif, tetapi menyangkut hak atas pembangunan yang adil, pelayanan yang merata, serta pengelolaan potensi lokal yang lebih optimal.
Harapan Baru di Bawah Abdurrahman Ahmad
Terpilihnya Abdurrahman Ahmad sebagai ketua panitia pemekaran pada Juni 2024 menjadi titik balik yang signifikan.
Politisi DPRA dari Fraksi Gerindra ini dikenal sebagai figur yang komunikatif, memiliki jaringan politik, dan paham mekanisme birokrasi. Ini memberi harapan besar bagi percepatan realisasi pemekaran Aceh Raya.
Dalam pidato perdananya sebagai ketua panitia, Abdurrahman menekankan pentingnya menyatukan semua elemen—tokoh masyarakat, akademisi, pemerintah daerah, hingga legislatif—dalam satu barisan perjuangan.
Ia juga menyampaikan komitmen untuk mendorong legalitas pemekaran melalui jalur resmi, mulai dari Gubernur Aceh, DPRA, hingga pemerintah pusat dan DPR RI.
Namun, harapan tersebut harus dihadapkan pada kenyataan bahwa pemekaran wilayah di Indonesia masih dibatasi oleh moratorium nasional yang belum dicabut hingga kini.
Wilayah calon Kabupaten Aceh Raya memiliki modal yang cukup kuat untuk berdiri secara mandiri. Dengan populasi sekitar 129 ribu jiwa dan luas wilayah mencapai 580 km², wilayah ini menyimpan potensi besar, mulai dari sektor kelautan, pertanian, perikanan, hingga pariwisata.
Pantai Lhoknga, Ujong Pancu, dan kawasan strategis Pulo Aceh adalah aset penting yang belum tergarap maksimal.
Selain itu, sejumlah industri seperti pabrik semen, kilang minyak mini, serta pelabuhan perikanan juga dapat menopang struktur ekonomi kabupaten baru. Jika ditata dengan baik, potensi ini bisa menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berkelanjutan.
Namun, potensi tersebut akan sia-sia jika dikelola dari jarak jauh dan tidak memiliki perhatian khusus dari pemerintah daerah induk. Inilah mengapa pembentukan Kabupaten Aceh Raya dianggap sebagai solusi untuk memaksimalkan peran lokal dalam pembangunan.
Meski didukung semangat kolektif dan potensi ekonomi yang kuat, proses pemekaran ini tidak akan mudah. Tantangan pertama datang dari kebijakan moratorium pemekaran daerah yang diberlakukan pemerintah pusat sejak beberapa tahun terakhir.
Alasannya cukup jelas: efisiensi anggaran dan penataan kelembagaan pemerintahan.
Tantangan kedua adalah mekanisme legal yang panjang dan ketat. Usulan pemekaran harus melewati banyak pintu—persetujuan DPRD kabupaten induk, rekomendasi gubernur, pengesahan DPRA, hingga keputusan akhir dari Kemendagri dan DPR RI. Setiap tahapan tersebut menuntut kerja keras dan strategi komunikasi yang tepat.
Tantangan ketiga bersifat politis. Dukungan dari pemerintah Kabupaten Aceh Besar sebagai daerah induk seringkali menjadi hambatan karena ada kekhawatiran kehilangan wilayah strategis dan sumber pendapatan. Inilah yang membutuhkan lobi politik yang intensif dan pendekatan dialogis yang matang.
Abdurrahman Ahmad memang membawa harapan baru, namun jalan menuju pemekaran adalah proses panjang yang memerlukan konsistensi, strategi, dan dukungan luas dari masyarakat.
Kepemimpinannya akan diuji, bukan hanya dalam kemampuan administratif, tetapi juga dalam membangun solidaritas antar tokoh lokal dan memenangkan simpati dari pemangku kebijakan di tingkat provinsi dan nasional.
Langkah awal yang harus dilakukan adalah memperkuat kajian akademis, menyusun naskah akademik dan dokumen pendukung seperti peta wilayah, data kependudukan, potensi PAD, hingga kesiapan infrastruktur.
Semua ini harus dipadukan dalam satu paket usulan yang tidak hanya kuat secara administratif, tetapi juga meyakinkan secara politis dan ekonomis.
Akankah Kabupaten Aceh Raya benar-benar terwujud di bawah kepemimpinan Abdurrahman Ahmad? Jawabannya adalah sangat mungkin—jika semua elemen masyarakat bersatu, jika panitia mampu membangun jaringan dukungan lintas level, dan jika perjuangan ini tidak berhenti pada slogan.
Aceh Raya bukan sekadar nama baru di peta, tetapi simbol dari perjuangan keadilan pembangunan dan representasi dari aspirasi masyarakat yang selama ini merasa kurang didengar.
Jika proses ini terus dijaga dengan niat tulus dan kerja konkret, kita mungkin tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menyambut hadirnya Kabupaten Aceh Raya sebagai daerah otonomi baru yang mandiri, kuat, dan berpihak pada rakyatnya.(**)