ACEHINDEPENDENT.COM – Salah satu wali murid baru Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur mengeluhkan mahalnya harga kain seragam sekolah sang anak. Harga yang dijual oleh koperasi sekolah sebesar Rp2.360.000, dinilai lebih mahal dua kali lipat dari pasaran. Sejumlah item yang dijual masih berupa kain yang perlu dijahit menjadi seragam, sehingga diperlukan keluar kocek lagi untuk menjahitnya.
Berdasarkan pengakuannya, bahasanya, guru mewanti-wanti murid soal warna seragam yang berbeda. Alhasil, ia terpaksa harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli kain tersebut.
Dari angka Rp2,3 juta tersebut, dengan rincian: 1 setel kain seragam abu-abu putih Rp359.400; 1 setel kain seragam pramuka Rp315.850; 1 setel kain seragam batik Rp383.200; 1 setel kain seragam khas Rp440.550; 1 item jas almamater Rp185.000; 1 kaus olahraga Rp130.000; 1 ikat pinggang Rp36.000; 1 tas sekolah Rp210.000; 1 atribut sekolah Rp140.000; dan 1 jilbab Rp160.000.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai, pengadaan seragam seperti di atas merupakan modus sekolah mencari untung. Biasanya, modusnya panitia menyertakan list seragam saat daftar ulang atau bekerja sama dengan penjual baju tertentu agar dapat persenan.
“Jelas ini modus kongkalikong ini jamak terjadi di lembaga pendidikan,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji kepada Tirto, Jumat (28/7/2023).
Matraji menuturkan, peristiwa seperti ini sebenarnya banyak terjadi di sekolah, tetapi hanya segelintir orang tua siswa yang berani protes. Rata-rata wali murid tidak berani protes.
Karena itu, kata Matraji, JPPI mengimbau kepada para orang tua agar tidak wajib membeli seragam dari sekolah. “Itu jelas pungli,” ucapnya.
Ia juga mendesak kepada Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Timur agar memberikan sanksi yang tegas kepada sekolah tersebut. Lalu, Kemendikbud juga harus menindak tegas kepada dinas-dinas yang melakukan pembiaran terhadap sekolah-sekolah yang nakal dan tidak taat aturan.
“Melakukan pembiaran terhadap kebijakan dan aksi yang melanggar hukum, itu juga bagian dari pelanggaran,” kata Matraji.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga mengkritik praktik jual beli seragam sekolah yang sangat mahal dan membebani orang tua siswa seperti yang terjadi di Tulungagung.
P2G memandang banyaknya jenis seragam dan biaya yang tinggi terhadap pembelian seragam sangat membebankan orang tua. Sehingga P2G meminta agar Kemendikbudristek meninjau ulang Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Siswa Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
“Fakta tersebut menunjukkan betapa banyaknya seragam yang dipakai siswa, dan pembelian seragam sebanyak itu jelas membebani orang tua. Belum lagi baju kegiatan ekstrakurikuler lain,” kata Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri melalui keterangan tertulisnya.
Selain seragam sekolah, kata Iman, orang tua harus memenuhi kebutuhan sekolah lainnya yaitu sepatu, tas, dan buku. Semuanya harus dipenuhi ditambah uang pangkal dan SPP khusus sekolah swasta.
Iman mengingatkan bahwa kebijakan yang melahirkan pemakaian seragam yang begitu banyak, tidak berkorelasi dengan mutu pendidikan.
“Silakan cek, apa korelasi seragam sekolah yang banyak dengan peningkatan mutu pendidikan? Jangan sampai kita terlalu sibuk mengatur seragam anak, lantas mengorbankan waktu dan tenaga untuk meningkatkan kualitas pendidikan,” ucapnya.
Ia memandang biaya seragam yang banyak sudah seharusnya masuk dalam skema pembiayaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pusat atau BOS Daerah. Juga bisa dengan skema KJP Plus untuk masyarakat tidak mampu.
Kemudian, praktik jual beli seragam dan atribut sekolah lain selalu terjadi karena tingginya demand dari orang tua. Pihak sekolah melihat ada peluang bisnis sehingga demand and supply terjadi. Padahal praktik jual beli seragam di sekolah dilarang berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022, khususnya Pasal 13.
“Dalam pengadaan pakaian seragam sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali peserta didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan peserta didik baru.”
Selanjutnya, Komite Sekolah sebagai wadah orang tua siswa, baik individu atau kolektif juga dilarang jual beli seragam di sekolah menurut Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
“Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang: (a) menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah; (b) melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya.”
“Artinya baik guru atau orang tua dilarang melakukan praktik bisnis jual beli tersebut,” ucap Anggi Afriansyah, Dewan Pakar P2G.(*)
sumber: tirto