Jakarta yang akan ditinggalkan IKN (Ibu Kota Negara) bukan Ibu Kota Nusantara –andai saja jadi pindah — mungkin akan nelangsa dan merana, seperti akibat perceraian antara suami dengan istri yang sangat tidak disukai oleh semua agama. Jadi ibarat perceraian — mengapa mesti harus berpisah, dedah sebuah lagu yang cukup populer di Indonesia — sesungguhnya tidak perlu terjadi. Sebab perkawinan itu demi dan untuk kebersamaan, bukan perpisahan. Jadi keinginan demi kebahagiaan bersama yang harmonis dan rukun perlu dijaga sepanjang masa, selama hayat dikandung badan. Kecuali Tuhan mrmang sudah mentakdirkan lain, itu cerita bukan lagi bagian dari otoritas manusia. Maka itu rencana memindahkan IKN bisa diurungkan, jika memang mau, karena bukan bagian dari takdir. Cuma soalnya, UU No. 3 Tahun 2022 Tentang legalitas IKN itu dipaksa hendak mengikat — jika tidak dikatakan ingin menyandera Presiden Indonesia berikutnya. Sebab bagi siapa saja kelak yang menjadi Prediden Indonesia, harus terus melanjutkan pembangunan IKN seperti yang telah dikehendaki seperti usulan dari perubahan UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN.
Republika.Co.Id jelas melaporkan hasrat dari pemerintahan Joko Wudodo melalui Rapat Kerja dengan komisi II DPR RI, pada hari Senin, 21 Agustus 2023, beranhak dari latar belakang perubahan UU No. 3 Tahun 2022 itu untuk memberi jaminan keberlanjutan investor demi pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara ke Penajam, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, tetap harus terus dilakukan oleh Presiden Indonesia berikutnys , ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (BPN)/ Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa di Gedung Parlemen, Senayan.
Jaminan dari keberlanjutan pembangunan IKN itu harus tetap dilanjutkan oleh Presiden Indonesia berikutnya seperti usulan yang hendak diatur dalam draff UU Perubahan pada Pasal 24 Ayat 3 UU IKN. Pendek kata, untuk keberlanjutan dan persiapan pembangunan, pemindahan IKN harus menjadi Program Prioritas Nasional paling singkat 10 tahun, terhitung sejak perubahan UU IKN diundangkan.
Artinya, jika perubahan ini kelak disetujui dan disahkan menjadi UU IKN yang baru, maka warisan pembangunan IKN selanjutnya akan menjadi beban bagi Presiden Indonesia periode 2024-2029, juga termasuk bagi Presiden Indonesia pada tahun 2029-2034.
Caratan Mingguan Kontan.Co.Id, 24 September 2023 menyebutkan, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) justru menilai pemerintah bersama DPR RI terkesan berupaya memberikan keistimewaan lebih kepada pemodal melalui revisi UU No. 3 Tahun 2022 Tentang IKN yang sedang dibahas di parlemen.
Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika berpendapat bahwa revisi UU IKN ini diusulkan secara sembunyi-sembunyi, karena ada kecenderungan ingin menjual hak guna Usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) kepada pemodal di IKN tersebut agar dapat lebih menggiurkan para penanam modal.
“Pemerintah berkeinginan untuk mengubah Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) menjadi Undang-undang, agar HGU dengan durasi 190 tahun dan HGB dengan durasi 180 tahun itu agar dapat diberlakukan” ujar Dewi Kartika saat diskusi virtual memperingati Hari Tani 2023, pada 24 September 2023. Karena menurut Dewi Kartika, pemberian HGU dan HGB dengan durasi hampir dua abad itu bagi sektor swasta bertentangan dengan konstitusi serta UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria. Sebab UU ini mengamanatkan agar tanah negara dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat semaksimal mungkin.
“Kebijakan agraria yang inkonstitusional ini mincul akibat implemrntasi ekonomi politik yang berpihak pada kapitalisme”, tandas Dewi Kartika. Apalagi sebelumnya pemerintah telah menandatangani PP No. 12 Tahun 2023 Tentang Pemberian Perizinan Berusaha. Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penabaman Modal Bagi Pelaku Usaha di IKN.
Kecuali itu, kebijakan yang tidak bijak ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah dengan durasi 95 tahun untuk HGU, 80 tahun untuk HGB dan 70 tahun untuk hak pakai. Jadi sangat jelas keinginan serupa ini melanggar UUD 1945.
Untuk pemberian hak dengan durasi selama gampir dua abad ini jelas akan sangat merugikan dibanding UU Agraria pada era kolonial (Agrarische Wet 1870). Karena pada masa kolonisl dahilu hak konsesi untuk perkebunan hanya diberikan kepada investor dengan durasi maksimal 75 tahun saja. Tapi, satu-satunya Fraksi di Komisi II DPR RI yang telak menolak revisi UU IKN No. 3 Tahun 2022 hanya Fraksi PKS. Alasannya, pertama karena kewenangan Otorita IKN sangat luar biasa. Karena dengan pemberian kewenangan khusus itu sangat besar berpotensi menjadikan otorita IKN memiliki kewenangan yang mutlak hingga bisa mengabaikan prinsip penyelenggaraan pemerintah yang demokratis.
Meski begitu, toh Komisi II DPR RI telah menyepakati UU IKN untuk tingkat pertama pada Selasa, 19 September 2023. Dari sembilan Fraksi yang terlibat dalam pembahasan UU IKN ini, delapan Fraksi lainnya setuju.
Alasan kedua penolakan Faksi PKS terhadap revisi UU No. 3 Tahun 2022 Tentang IKN adalah masalah pengelolaan aset hak guna usaha (HGU) yang berlebihan dari Otorota IKN yang sangat potensial kelak akan disalah gunakan. Oleh jarena itu, kesan tambal sulam dari peraturan dan perundang-undangan mengenai IKN ini cukup terang benderang mengindikasikan perencanaan yang tergesa-gesa dan tidak matang. Maka itu wajar bila kesangsian untuk tetap dilanjutkannya pembangunan IKN perlu ditimbang ulang, sebelum terlanjur membuat kerugian yang banyak. Terlebih lagi, tentang catatan usulan ini perlu diingat dan — sekali lagi untuk dipertimbangkan — karena belum termasuk kerugian yang kelak akan mendera Jakarta dan sekitarnya, bila rencanakan memindahkan Ibu Kota Negara ke Penajam, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur itu tetap dipaksakan.
Bisa jadi, pemberian konsesi hampir dua abad untuk HGU dan HGB akan menjadi beban tujuh turunan generasi bangsa Indonesia di masa mendatang. Jadi, catatan ini menjadi semakin penting dan perlu agar kesaksian ini bisa menjadi dokumen, bila kelak menjadi pentesakan karena banyaknya akibat yang harus ditsnggung oleh generasi bangsa Indonedia di masa mendatang, tidak perlu semua orang jadi merasa telah ikut berdosa, karena tidak sama sekali melakukan semacam upaya yang mengingat dan pencegahan. (Jacob Ereste)