Aceh – Bangunan bercat putih berdiri kokoh di antara pertokoan di Jalan T Panglima Polem, Banda Aceh, Aceh. Garis pinggir bangunan berwarna merah. Dua patung naga ditaruh di atas atap depan. Lampion-lampion menggantung. Inilah Vihara Dharma Bhakti, tempat warga etnis Tionghoa di Aceh beribadah.
Vihara ini terletak di Peunayong, Banda Aceh. Di kawasan yang terletak di pinggir Krueng Aceh itu, hidup beragam etnis dengan beragam agama dan kepercayaan. Tidak terdengar ada kericuhan antarumat beragama di Aceh.
Umat minoritas bebas beribadah menurut agama masing-masing meski provinsi berjuluk Serambi Mekah itu menerapkan syariat Islam. Mereka di sana saling menghormati dan tidak saling mengusik.
Selain Vihara Dharma Bhakti, di Peunayong terdapat Vihara Buddha Sakyamuni dan dua vihara lainnya, yaitu Maitri dan Dewi Samudera. Ketiga vihara ini berdampingan dengan Gereja Protestan Indonesia bagian Barat. Di dekatnya lagi ada Gereja Methodist. Lalu, tak jauh dari situ, di ujung Jalan Panglima Polem, berdiri megah sebuah masjid.
“Toleransi dalam ibadah keagamaan untuk akar rumput masyarakat umum tidak ada gesekan sama sekali,” kata Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh Kho Khie Siong saat ditemui detikcom beberapa waktu lalu.
Di pusat pasar Peunayong, Banda Aceh, pedagang dari berbagai etnis berbagi lapak. Mereka berinteraksi di antara lalu lalang para pembeli. Suasana Gang Pasar Sayur, di Jalan WR Supratman, Peunayong, Banda Aceh, selalu ramai saban hari. Meski berbeda etnis, pembeli di sana tidak membeda-bedakan saat berbelanja.
Menurut sejarah, hubungan antara Aceh dan China terjalin sejak abad ke-17 Masehi. Saat itu para pedagang dari China silih berganti datang ke Aceh. Mereka ada pedagang musiman, ada juga yang permanen. Mereka tinggal di perkampungan China di ujung kota dekat pelabuhan.
Rumah mereka berdekatan satu sama lainnya. Lokasi yang dulu digunakan etnis China sebagai tempat menurunkan barang sebelum didistribusikan kini dikenal dengan nama Peunayong.
Kata Peunayong sendiri berasal dari “peu payong”, yang berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah hikayat disebutkan bahwa, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan China.
Warga China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5 dari buyut mereka yang datang pada abad ke-19. Mereka adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung, China. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu, Hai Nan, dan Hok Kian.
“Penduduk China paling banyak tinggal di Peunayong,” jelas pria yang akrab disapa Aky ini.
Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh melabeli Peunayong sebagai kampung China. Kerukunan umat beragama di sana hingga kini masih terjaga. Saat bulan Ramadan, misalnya, warga etnis Tionghoa ikut menjajakan penganan berbuka. Begitu juga saat hari-hari besar agama lain warga nonmuslim tetap leluasa merayakannya.
Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh terbilang harmonis. Kho, yang lahir dan dibesarkan di Aceh, tidak pernah merasakan adanya tekanan dari masyarakat Aceh saat melaksanakan ibadah. Di Banda Aceh, belum pernah ada keributan antara satu agama dan agama lainnya.
“Tidak pernah ribut antara agama Islam dan agama Hindu, Buddha, dan Kristen. Tidak pernah,” ungkap Aky.
Selain Peunayong, kampung keberagaman di Banda Aceh adalah Kampung Mulia dan Kampung Laksana. Tempat itu juga dihuni beragam pemeluk agama, baik Islam, Nasrani, maupun Buddha, dan berbagai etnis. Khusus di Kampung Mulia, terdapat rumah ibadah beragam agama dalam jarak yang tidak terlalu jauh.
Selain masjid sebagai rumah ibadah warga mayoritas, terdapat tiga gereja, masing-masing Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) yang bersebelahan dengan Gereja Methodis Indonesia (GMI) di Jalan Pocut Baren, dan gereja adat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Jalan Pelangi. Kemudian ada tiga vihara.
Meski Aceh berstatus daerah syariat Islam, kenyamanan beribadah masyarakat nonmuslim juga terjamin. Penduduk Aceh memang mayoritas muslim, namun ada juga Nasrani, Buddha, dan Hindu. Berdasarkan sensus penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, sebanyak 4.413.244 atau 98,18 persen penduduk Aceh beragama Islam. Sedangkan pemeluk Kristen berjumlah 50.309 jiwa, Katolik 3.315 jiwa, Buddha 7.062 jiwa, Hindu 136 jiwa, dan Konghucu 36 jiwa.
Penduduk Kota Banda Aceh berjumlah 223.446 jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 216.941 jiwa memeluk Islam, 1.571 beragama Kristen, 431 Katolik, 2.535 memeluk Buddha, 3 orang beragama Konghucu, dan 50 jiwa beragama Hindu.
Sebaran terbanyak pemeluk Kristen, Katolik, Buddha, dan Islam yaitu di Peunayong, Kampung Mulia, dan Kampung Laksana. Ketiga desa ini terletak di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Di Banda Aceh terdapat empat gereja, yakni GPIB, GMI, HKBP, dan Gereja Khatolik Hati Kudus, yang masing-masing memiliki sekolah sendiri. Selanjutnya umat Buddha memiliki empat rumah ibadah, yaitu Vihara Sakyamuni, Vihara Maitri, Vihara Dewi Samudra, dan Vihara Dharma Bhakti. Sedangkan umat Hindu mempunyai Kuil Palani Andawer di Jalan Teugku Dianjong, Keudah, atau hanya berjarak puluhan meter dari Masjid Jamik Keudah.
Keberadaan rumah ibadah di ibu kota Provinsi Aceh ini memiliki izin resmi dari pemerintah, sehingga tetap dijaga keberadaannya oleh masyarakat, tidak pernah diusik.
Seorang warga Tionghoa, Hendry, mengaku tinggal di Aceh sejak lahir. Masyarakat Aceh dan China saling berkunjung lain untuk membangun silaturahmi.
“Kami saling bersilaturahmi,” katanya.
Untuk menjaga hubungan antara warga Tionghoa dan penduduk pribumi, Yayasan Hakka pada perayaan tahun baru Imlek 2566 atau 2015 mendeklarasikan Peunayong sebagai kampung keberagamaan. Sejak pendeklarasian itu, mereka kerap menggelar pertunjukan berkolaborasi dengan kesenian lokal.
Beberapa waktu lalu, pernah ada pertunjukan barongsai dengan Seudati, Rapai Geleng, dan sejumlah tarian Aceh lainnya. Hakka Banda Aceh juga berkomitmen terus membangun keberagaman dan toleransi dengan masyarakat Aceh.
Toleransi umat beragama di Aceh, kata Aky, menjadi tolok ukur bagi warga di luar tanah Rencong. Menurutnya, orang di luar Aceh terus memantau kerukunan antarumat beragama di daerah yang resmi menerapkan syariat Islam sejak 2002 ini.
“Saya punya pengalaman, ada teman datang dari Lampung sekitar 20 orang. Mereka kaget begitu datang ke Aceh tidak seperti yang dibayangkan dan digambarkan orang. Begitu mereka turun kapal dari Sabang, hanya satu kata yang mereka sebut, ‘Ternyata orang Aceh ramahnya minta ampun.’ Begitu kata mereka,” beber Aky.
“Itu membuat persepsi orang itu dan mereka akan sampaikan ternyata Aceh itu luar biasa,” jelas Aky. (detik.com)