ACEHINDEPENDENT.COM – Juru bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril, menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu dari tiga negara dengan beban hepatitis B terbesar di dunia. Syahril mewanti-wanti bahwa kasus di Indonesia didominasi oleh penularan vertikal dari Ibu ke Anak.
“Penularan secara vertikal dari ibu ke anak, mencapai 90-95 persen kasus. Sementara secara horizontal sekitar 5-10 persen kasus saja,” kata Syahril dalam konferensi pers yang diikuti daring, Selasa (16/5/2023).
Berdasarkan data Riskesdas 2013, hasil pemeriksaan HbsAg pada populasi umum di Indonesia, didapatkan sebanyak 7,1 persen atau sebanyak 18 juta orang terinfeksi hepatitis B. Sementara pada data tahun 2019, prevalensi hepatitis B kronik di Indonesia mencapai 3,89 persen atau setara 24 juta penduduk.
“Penularan vertikal dari ibu ke anak dapat terjadi pada saat menyusui asi dan persalinan,” sambung Syahril.
Data menunjukan ibu hamil yang positif hepatitis B, jumlahnya selalu konsisten dalam kisaran dua persen setiap tahunnya. Pada tahun 2022, terdapat 50.744 ibu hamil yang positif hepatitis B.
“Bayi yang terinfeksi hepatitis B kemungkinan untuk menjadi kronis dan mengalami sirosis hingga 80 persen. Sehingga penting untuk memutus penularannya,” ujar Syahril.
Syahril membeberkan, sebanyak 35.757 bayi lahir dari ibu yang positif . Dari jumlah tersebut, hanya 34.533 bayi yang mendapatkan imunisasi Hb0 dan HBg kurang dari 24 jam. Sementara itu, hanya 27 persen bayi yang setelahnya melakukan tes HbsAG pada usia 9-12 bulan dan ditemui sebanyak 135 bayi positif.
“Ibu hamil ini diharapkan dapat memeriksa di pelayanan kesehatan dan bisa melakukan pemeriksaan tiga penyakit yang terintegrasi yaitu HIV, sifilis dan hepatitis B,” tambah Syahril.
Salah satu upaya pemerintah mencegah penularan vertikal adalah dengan mengeluarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/15/2023 tentang Percontohan Pemberian Antivirus pada Ibu Hamil untuk Pencegahan Transmisi Virus dari Ibu ke Anak.
Sementara dalam menangani penularan secara horizontal, Pemerintah melakukan deteksi dan pemeriksaan pada kelompok berisiko. Seperti pada pengguna jarum suntik, pasien hemodialisa, Orang dengan HIV, Wanita Pekerja Seks, Lelaki Seks dengan Lelaki, dan Warga Binaan Penjara.
“Apabila hasilnya reaktif selanjutnya diperiksa HCV RNA dan apabila hasilnya reaktif dilakukan pengobatan DAA,” lanjut Syahril.
Salah satu hal yang perlu disoroti adalah stigmatisasi pada pasien hepatitis B yang masih terjadi di masyarakat. Stigma ini kata Syahril, meliputi stigma sosial, stigma individual dan stigma struktural.
“Contoh stigma sosial pengidap hepatitis B diasumsikan sebagai pengguna napza suntik atau homoseksual atau pelaku seks di luar nikah,” jelas Syahril.
Sementara stigma individual datang dari pasien itu sendiri yang merasa bahwa ia ditolak dan menjadi stereotipe negatif di lingkungannya. “Lalu stigma struktural seperti pemecatan tenaga kerja dan penolakan calon mahasiswa yang ditemukan,” tambah Syahril.
Sumber:tirto