KEHADIRAN industri tidak selalu membawa dampak kesejahteraan bagi warga kampung. Terkadang justru sebaliknya banyak mudharat dari pada manfaat.
Seperti imbas pencemaran lingkungan dari industri pabrik kelapa sawit (PKS) di Desa Lubuk Sidup, Kecamatan Sekerak, Aceh Tamiang menggores kisah pilu bagi keluarga Nuraini.
Masyarakat sekitar PKS terpaksa tinggalkan rumah kediaman yang dibangun 11 tahun silam. Alasannya karena terimbas pembuangan limbah PKS. Warga tak kuasa mengirup udara tidak sehat setiap hari dan memutuskan pindah.
Ini seperti penelusuran media ini di lapangan, satu hunian berkonstruksi papan milik pasangan Syuib (65) dan Nuraini (67). Posisinya terpencil persis di tepi kolam limbah dan terpaut sekitar 150 meter dari pabrik. Di depan rumah terdapat parit saluran limbah yang telah mengikis badan jalan desa.
Sementara nama industri crude palm oil (CPO) tersebut PKS PT Bima Desa Sawita (BDS). Pabrik mini ini berdiri sekitar 2016 dan hanya memiliki lima kolam penyimpanan limbah. Kolam paling ujung mentok di belakang rumah warga.
“Sudah tidak nyaman kami tinggal di rumah itu. Lingkungan rumah langsung bersentuhan dengan kolam limbah tidak ada pagar pembatas,” kata Usman (37), anak sulung Syuib dan Nuraini kepada Harian Rakyat Aceh, Jumat (29/9).
Saat ini, lanjut Usman, rumah berukuran 6×8 meter di lahan seluas 1,5 rante itu terancam ambles terbawa erosi. Pasalnya parit saluran depan rumah yang bermuara ke sungai sudah tergerus arus. Selain rumah, jalan dan jembatan desa juga terancam putus. Padahal dulu rumah Nuraini pernah dijadikan mess bagi para pekerja konstruksi dari luar daerah saat pabrik sedang dibangun.
“Rumah itu dibangun 2013, sudah ada sebelum pabrik jadi, karena pekerja pabrik dari luar daerah tinggalnya di rumah kami,” ulas Usman.
Ironi.! Jarak rumah orang tua Usman dan kolam limbah hanya dua langkah saja. Pencemaran lingkungan ini membuat keluarga mereka tidak betah. Apalagi saat musim penghujan kolam limbah meluap di perkarangan rumah.
“Memang selama ini belum pernah masuk limbah ke dalam rumah. Hanya menggenangi perkarangan belakang dan samping setinggi 5-10 centimeter. Dampaknya jorok, bau dan becek, namanya banjir limbah,” ujar Usman.
Perusahaan Ingkar Janji
Dulu, Usman menceritakan, pernah dipasang pagar seng pembatas di tepi kolam tapi sudah rubuh tak berbekas. Pihak pabrik juga membuat benteng dari karung diisi tanah juga sudah tenggelam. Sementara kondisi tanggul kolam limbah di sisi kanan pabrik lebih rendah dari permukaan air limbah. Tak ayal saat pengolahan TBS sawit sedang banyak, kolam limbah praktis meluap.
“Idealnya PKS harus punya 9-12 kolam limbah. Kalau PKS BDS ini setahu saya cuma ada 5 kolam,” ucapnya.
PKS BDS di Lubuk Sidup dibangun di lahan seluas lebih kurang 4 hektare. Keluarga Usman hengkang dari rumah itu beberapa tahun setelah pabrik beroperasi. Ibunya Usman, Nuraini adalah warga pribumi Lubuk Sidup. Sebagian tanah pabrik milik Nuraini yang dibeli oleh investor. Pihak managemen pernah menjanjikan pembangunan pagar keliling di area limbah agar tidak bersinggungan dengan masyarakat.
“Tapi faktanya perusahaan ingkar janji belum dibangun sampai sekarang. Bahkan parit saluran di depan rumah saya dibeko (perdalam) belum juga diperbaiki, padahal dulunya itu parit beton desa yang bangun,” ungkapnya.
Usman menyebut ibu dan ayahnya adalah masyarakat biasa berprofesi sebagai pekebun. Mereka sekarang tinggal di Desa Sekerak Kanan. Usman sendiri pernah bekerja di PKS BDS dan berhenti pada 2022. Sesekali mereka pulang kampung jika datang musim buah-buahan, karena ayahnya memiliki kebun di Lubuk Sidup. Artinya rumah diseberang parit saluran limbah itu hanya dijadikan tempat persinggahan.
“Paling waktu musim buah-buahan tahunan seperti duku, durian, rambutan dan langsat baru kami tempati rumah itu,” jelas eks karyawan BHL PKS tersebut.
“Nasib kami sekeluarga sebenarnya sama seperti warga Desa Lubuk Sidup lain mencari solusi terbaik terkait pencemaran limbah. Tapi nampaknya perusahaan merasa paling hebat, apalagi sekarang pimpinan tertinggi atau owner perusahaan dari luar daerah,” tambahnya.
Minta Relokasi
Datok Penghulu Desa Lubuk Sidup, Ibrahim saat ditemui Rakyat Aceh, Sabtu (30/9) membenarkan satu unit rumah warganya terencam erosi jika luapan kolam limbah tidak segera diatasi. Pihak desa berharap kepada managemen perusahaan dapat memikirkan untuk relokasi rumah di bibir kolam limbah PKS tersebut.
Masalah limbah ini, menurut datok Sibram sudah pernah dimediasi ke tingkat kecamatan dihadiri pihak PT BDS, tapi belum ada tanda-tanda perbaikan. Sebagai antisipasi air limbah masuk permukiman, warga membendung parit saluran di Dusun Bertih. Bahkan warga mengancam akan menjebol tanggul kolam limbah agar tidak berimbas ke kampung.
“Dalam bulan ini sudah tiga kali limbah meluap, kalau tidak segera ditangani warga akan membuka paksa tanggul kolam. Karena kalau tidak dijebol limbahnya selalu melimpah ke jalan dan ada satu rumah warga terancam ‘habis’/roboh,” ujarnya.
Sibram menambahkan, kasus teranyar limbah meluap menggenagi ruas jalan dan lahan pertanian warga pasca hujan deras yang terjadi pada Jumat (29/9) malam.
“Hari ini (Sabtu) limbah pabrik meluap lagi ke jalan hingga mengenai lahan pertanian dan peternakan warga. Sudah parah kali kondisinya, kampung kami banjir air limbah,” tambahnya.
Kepala Tata Usaha (KTU) PKS PT BDS, Ficky saat dikonfirmasi via telepon, Sabtu (30/9) siang ihwal limbah pabrik BDS yang meluap ke permukiman tersebut namun belum berhasil. Sebelumnya saat ditanya tentang hasil mediasi bersama Forkopincam Sekerak, Ficky juga tak memberi keterangan. (hra)