Rumah Merah

Oleh: Dahlan Iskan

LASEM kini lagi ruwet-ruwetnya. Itu berarti, ada harapan. Banyak jalan lagi digali. Di pinggirnya. Bersamaan pula dengan musim hujan. Becek dan lumpur bersatu dengan tanah galian.

Bacaan Lainnya

Padahal, saya ingin berjalan kaki di kota unik itu. Agar bisa menikmati ketuaan bangunan di sana. Gagal. Tidak nyaman. Apa boleh buat.

Tujuan utama saya pasti —Anda pun tahu: ke Jalan Karang Turi. Itulah pusat batik Lasem Tionghoa —di masa nan lalu. Ternyata juga ada galian. Pun di pinggir Jalan Karang Turi. Untung, ada halaman terbuka di Rumah Merah di Karang Turi. Saya bisa parkir di halaman itu. Sambil menyesal: kenapa tidak makan siang di situ saja. Di teras Rumah Merah. Ternyata ada kantinnya. Banyak pula pilihan makanannya.

Sungguh menyesal. Kenapa tadi mampir sate kambing. Hanya gara-gara ada asap dan aroma kambing bakar di pinggir Jalan Jatirogo. Padahal, sulit sekali mencapainya: ada galian besar yang memisahkan jalan itu dengan sate tersebut.

Padahal, Lasem adalah juga Rumah Merah itu. Belum ke Lasem kalau belum ke Rumah Merah.

Kelak, Jalan Karang Turi tidak boleh hanya diberi selokan. Harus lebih istimewa. Lebih khas. Karang Turi adalah jalan yang kelak sangat layak jual: sebagai pusat turis.

Masih banyak yang harus dikerjakan untuk memoles Jalan Karang Turi. Toh, jalan tersebut tidak panjang. Kurang dari 300 meter. Tidak akan mahal membuat Jalan Karang Turi bernuansa istimewa.

Karang Turi juga tidak lebar. Hanya 6 meter. Yang 4 meter sudah telanjur diaspal. Mestinya jangan ada aspal di Karang Turi. Jalannya bisa dibuat dari batu-batu model Jalan Braga di Bandung.

Karang Turi bukan jalan utama di Lasem. Juga, bukan satu-satunya yang berciri Tionghoa. Tapi, Karang Turi-lah jantungnya.

Tidak sulit menemukan Karang Turi. Waktu itu saya datang dari arah Semarang —tepatnya dari arah Pati-Rembang. Lewat Jalan Daendels —sekarang lebih terkenal sebagai jalan pantura.

Begitu memasuki Kota Lasem, tengoklah ke kanan. Ada masjid besar di pinggir jalan pantura. Itulah Masjid Jami Lasem. Berilah tanda: akan belok kanan. Untuk masuk ke Jalan Jatirogo. Itulah jalan utama di dalam Kota Lasem.

Sekitar 300 meter dari masjid, sudah mulai tercium rasa China Town-nya. Itulah Pecinan Lasem. Rasanya nyaris seluruh Lasem adalah China Town. Konon, itulah pecinan tertua di Jawa. Sudah ada sejak sebelum zaman Majapahit.

Saya pun masuk ke Rumah Merah itu. Yang catnya memang serbamerah. Yang diselingi warna kuning. Khas China Town.

Siapa saja boleh masuk ke rumah besar tersebut. Rumah turis. Yang dulunya pastilah rumah golongan orang terkaya di Lasem. Besar sekali.

Istri saya tertarik ke yang lain: ke pembatikan. Dia memang belum punya koleksi batik Lasem. Juga, baru tahu bahwa batik Lasem itu terkenal. Di kampungnyi, Kaltim, hanya pernah mendengar batik itu harus Solo dan Yogyakarta.

Beda dengan suaminyi. Sejak kecil saya sudah tahu: batik Lasem itu istimewa. Waktu disunat, saya dibelikan sarung baru: sarung batik Lasem. Sarung bekas yang diperbarui. Sarung lama yang dibatik ulang. Ibu sendiri yang membatik ulang. Menjadi seperti baru.

Batik Lasem juga dikenal sebagai batik pesisir utara. Coraknya lebih egaliter, lebih bebas, dan lebih berwarna.

Cita rasa warna Tionghoa banyak berpengaruh ke batik Lasem. Beda dengan batik Solo yang klasik, feodal, dan ningrat.

Saya celingukan di dalam rumah besar itu. Tidak tahu harus bertanya apa kepada siapa. Tiba-tiba suara keras memanggil nama saya. Dari arah belakang. Saya amati siapa yang datang tergopoh-gopoh itu. Sepertinya saya kenal: lupa namanya.

”Saya Rudy Hartono. Masak Pak Dahlan lupa,” katanya.

Awalnya saya lupa. Sudah begitu lama tidak bersua. ”Oh, saya ingat. Anda pengurus barongsai kan? Kok ada di sini?” jawab saya.

”Ini rumah saya, Pak. Rumah Merah ini sekarang saya yang punya,” katanya. Wow.

”Anda orang Lasem?” tanya saya.

”Ya. Saya lahir di Lasem. Di rumah itu,” jawabnya sambil menunjuk rumah lain. Yang bagian depannya dijadikan toko mebel dan handphone.

Rumah lain itu menghadap ke Jalan Jatirogo. Di arah seberang sate. Pantat rumah lain itu beradu dengan pantat Rumah Merah. Jadilah rumah itu sambung-menyambung: satu pemilik, Rudy Hartono.

Tidak hanya dua rumah itu yang tersambung. Rumah Merah yang di sebelah kanan Rumah Merah juga ia beli. Pun Rumah Merah satunya lagi. Yang di kanannya lagi.

”Jadi, Anda membeli tiga rumah besar berjajar ini?” tanya saya.

”Belinya bertahap. Saya kan bukan orang kaya,” katanya.

Maka, jadilah tiga Rumah Merah di Jalan Karang Turi itu menjadi satu kesatuan. Bagian belakangnya menyatu. Turis bisa masuk dari rumah pertama. Bisa keluar di Karang Turi dari rumah ketiga.

Rumah yang di tengah dijadikan hotel. Sebanyak 18 kamar. Tanpa mengubah desain kamar aslinya.

Ia masih membeli satu rumah lagi. Di seberang Rumah Merah itu. Untuk toko batik Lasem. Lalu, membeli satu kapling lagi di sebelahnya: rumah yang sudah reot. Akan ia jadikan tempat parkir turis.

Dulu saya sering bertemu Rudy Hartono. Saya mengenalnya dengan nama Oei Sien Tjo. Ia ikut kejuaraan barongsai mewakili Lasem. Di Surabaya. Dua kali. Ia ketua klub Tiongkok Kecil.

Waktu itu saya masih ketua umum barongsai se-Indonesia. Saya baru berhenti tahun lalu. Setelah lebih 15 tahun di jabatan itu.

Oei akrab dengan aktivis Barongsai Surabaya. Setelah tamat SMA di Lasem, Oei kuliah di Surabaya. Di teknik sipil Universitas Kristen Petra.

Setamat Petra, Oei bekerja di proyek Agung Auto Mall Surabaya —sekarang dikenal sebagai Auto2000.

Saya tidak menyangka, Oei sudah begitu majunya. Lebih salut lagi: ia begitu semangat membangun kampung kelahirannya.

Ia merasa putra asli Lasem. Ayah, kakek, buyut, canggahnya, semua lahir di Lasem. Pun generasi di atasnya lagi. Yang masih lahir di Tiongkok adalah enam generasi terdahulu.

Oei sudah menjadi orang kaya. Tapi, bukan orang yang kaya raya. Kecintaannya kepada Lasem yang membuat ia menanam uang di Lasem. Yang secara bisnis tidak terlalu menghasilkan.

Kecuali kelak. Ketika Jalan Karang Turi sudah dibangun dengan ciri khas yang kuat. Bukan sekadar diberi parit di pinggirnya —dan aspal sejlirit di tengahnya.

Atau lebih kelak lagi: ketika sudah ada jalan tol dari Semarang ke Kudus. Sambung ke Rembang. Sampai Surabaya.

Sementara ini Rudy hanya bisa banyak berharap. Tapi, ia akan panjang umur —sabar menunggu harapan itu tiba: Lasem jadi pusat wisata penting. Dengan sejarahnya, dengan batiknya, dengan keunikannya. Juga, sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Indonesia —Gus Baha yang kini terkenal sebagai ulama besar itu keturunan Lasem.

Di Lasem-lah ada peninggalan infrastruktur penyelundupan candu di zaman itu. Yang lubangnya sampai ke sungai. Kini disebut Lawang Ombo.

Juga, ada Monumen Perang Kuning. Ketika warga Tionghoa dan Jawa bersatu melawan Belanda. Tahun 1700-an.

Ada pula kelenteng full dewa: Po An Bio.

Begitu banyak bangunan peninggalan masa lalu. Besar dan kecil. Termasuk sampai ke dalam gang-gang sempitnya.

Dari banyak kekayaan itu, baru sedikit yang berhasil diselamatkan. Selebihnya masih seperti telantar.

Terlalu mahal bagi Pemda Rembang —salah satu kabupaten termiskin di Jateng— untuk membangun keseluruhan Lasem.

Untungnya, Kementerian PUPR mulai turun tangan. Terlalu sayang kalau Lasem telantar lebih lama lagi.

(Dahlan Iskan).

Pos terkait