Suara Partai Tak Mutlak Ditentukan Figur Caleg

Dr. Noviardi Ferzi

Tak mudah memang mengambil satu kesimpulan tentang politik, apalagi yang berhubungan akan persepsi masyarakat (preferensi) akan pilihan politiknya terhadap partai politik. Dikatakan tak mudah karena terlalu banyak variabel yang mempengaruhi pilihan masyarakat terhadap partai dan calon legislatifnya.

Saking kompleknya variabel yang mempengaruhi pilihan ini tak ada satu kesimpulan (postulat) yang bisa mengeneralisir mengambarkan pilihan akan partai politik. Para peneliti politik sendiri cenderung mengambil kesimpulan secara sepotong – potong (parsial) di tiap momen atau satu wilayah dalam mengambil kesimpulan penelitian mereka.

Bacaan Lainnya

Dari beberapa variabel yang banyak ini terdapat kontradiksi umum antara hasil penelitian dengan realitas dilapangan saat pemilu. Salah satunya yang paling populer adalah pilihan masyarakat terhadap partai dipengaruhi oleh figur calon legislatif yang ditawarkan kepada masyarakat.

Kesimpulan ini tidak salah, namun kebanyakan peneliti terlalu mengeneralisir kesimpulan ini tanpa mengcluster wilayah mana, partai apa, jenis pemilihan Pileg atau pilkada. Karena sesungguhnya berlakunya kesimpulan ini berbeda untuk tiap wilayah, partai, jenis pemilihan.

Dari puluhan riset politik yang dilakukan berbagai lembaga survei juga tidak terlihat secara signifikan pengaruh ketokohan atau figur sebagai alasan memilih partai.

Adapun alasan masyarakat yang dominan sebagai dasar pertimbangan untuk memilih partai politik yang paling dominan adalah, partai yang kebijakannya memihak kepada rakyat kecil.

Selain itu juga masyarakat memilih partai politik karena suka pada tokoh yang berada pada partai tersebut. Hal ini lebih pada ketokohan partai ditingkat nasional bukan merujuk pada calin legislatif yang ditawarkan.

Dan alasan yang ketiga terbanyak, masyarakat memilih partai karena partai tersebut membela agama dan memihak kepada kemajemukan.

Sedangkan di urutan keempat masyarakat memilih patai politik beralasan karena partai yang dipilihnya punya jalan keluar atas masalah warga. Kemudian alasan yang berada di urutan kelima memilih karena ikut pilhan orang lain.

Namun hasil ini berbeda dari rata – rata kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi untuk kepentingan akademik khususnya penelitian untuk publikasi jurnal dan syarat kelulusan seperti skripsi. Dari pengamatan penulis hasilnya mencantumkan faktor figur calon legislatif yang ditawarkan partai sebagai faktor utama orang memilih partai.

Lalu perbedaannya dimana ? Dalam hal ini, selain masalah metode, kedalaman data, sumber daya riset dan analisa yang kurang memadai, saya melihat dari masalah etika sosial yang menjadi tanggung jawab perguruan tinggi membuat hasil penelitian mendukung nilai moral tentang ketokohan dan figur sebagai faktor pilihan masyarakat. Akibatnya hasil penelitiannya rerata sama, menjadikan faktor figur menjadi faktor, meski realita dilapangan ada hal yang berbeda.

Hari ini pasca berubahnya sistem dari nomor urut kepada suara terbanyak, sebenarnya faktor ketokohan atau figur makin meluntur, berganti ke variabel lain yang lebih mendominasi. Bukan rahasia lagi di dalam pileg, faktor sosialisasi di media massa baik cetak maupun eletronik, ruang sosial dan publik lebih penting yang bisa mengerus efek ketokohan calon lain.

Selain itu kemampuan untuk membentuk dan merawat jaringan ke pemilih menjadi hal penting yang tak bisa dilewatkan. Benang merah ke dua faktor ini adalah sumber daya finansial menjadi faktor pokok bagi caleg untuk mencari suara.

Mungkin ini terdengar pragmatis tapi itulah kenyataannya, logistik mungkin tidak memenangkan pertempuran, tapi tanpa logistik akan sulit sekali memenangkan pertempuran. Meyakini hal ini, tak ayal ketika penyusunan calon legislatif, ketokohan atau figur itu dinilai dengan kemampuan finansial.

Terkait pemilu legislatif 2024 nanti, ada catatan tentang apa sebenarnya yang menjadi landasan pilihan masyarakat akan Parpol di Indonesia ? kecenderungan pemilih di Indonesia masih didominasi faktor ketokohan. Tentu bukan tokoh dalam pencalegan, namun tokoh dalam partai politik ketika memberikan suaranya dalam pemilihan umum (pemilu).

“Misalnya Joko Widodo atau Megawati (PDI Perjuangan), Prabowo Subianto (Gerindra), Gus Dur (untuk Partai Kebangkita Bangsa/PKB). Hal ini dikarenakan memori masyarakat ketika memilih terafiliasi pada sosok figur kunci. Buktinya, hampir semua partai yang memiliki ketua umum yang ditokohkan memiliki suara yang besar.

Selanjutnya, faktor citra dan emosional, hal ini dipengaruhi antara lain citra partai dan pemberitaan media. Ketiga, faktor keluarga, lingkungan dan party ID, keempat faktor sosiologis, faktor ini cenderung ada di masyarakat memilih partai politik karena afiliasi agama atau organisasi masyarakat tertentu. Terakhir memilih partai politik karena alasan / faktor rasional seperti visi dan misi, program kerja, termasuk ketokohan atau figur caleg yang ditawarkan partai.

Tentu saja sekali lagi, urutan faktor ini berbeda di tiap partai, daerah dan jenis pemilihan, namun secara umum ini mayoritas terjadi dan diyakini pemilih. Tinggal partai politik yang menganalisa sejauh mana faktor itu berlaku di partai dan wilayahnya masing – masing.

Saat ini partai politik perlu khawatir tentang pemilu yang akan berlangsung tiga tahun lagi. Karena keserentakan pemilu membuat peta politik yang sesungguhnya belum terlihat. Terlalu banyak variabel yang amat dinamis untuk diterka. Salam Demokrasi. ****Penulis adalah Dosen dan Peneliti LKPR***

EDITOR : Muhajir
SUMBER : jambi-independent.co.id

Pos terkait