Banda Aceh – Dr.TM Jamil menyampaikan keprihatinan mendalam atas belum adanya pernyataan resmi dari Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haythar, terkait kejelasan batas wilayah Aceh sebagaimana termaktub dalam MoU Helsinki dan rujukan peta tertanggal 1 Juli 1956.
Dalam pernyataan resminya kepada media, Jumat (13/6/2025), pihaknya menilai diamnya Wali Nanggroe dalam isu ini dapat memunculkan keraguan di tengah masyarakat serta berpotensi melemahkan posisi hukum dan historis Aceh di mata nasional.
“Kami menghormati lembaga Wali Nanggroe sebagai simbol adat dan identitas Aceh. Namun dalam persoalan batas wilayah, yang menyangkut harkat dan sejarah rakyat Aceh, kami menilai perlu adanya penjelasan terbuka,” ujar TM Jamil.
Minta Klarifikasi Terbuka
Dr. TM Jamil menambahkan, ketidakhadiran sikap resmi dari Wali Nanggroe dalam diskursus publik tentang batas wilayah membuat masyarakat berada dalam ruang tanya yang berkepanjangan. Padahal, sebagai salah satu tokoh kunci dalam penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki, posisi Wali dinilai strategis dalam memberi arah dan penjelasan.
Peran Media dan Masyarakat Sipil
TMJ sebagai Dosen Ilmu Politik akan tetap menjalankan fungsi kontrol sosial dan penyebaran informasi yang berimbang. Pihaknya juga mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) segera memfasilitasi forum terbuka untuk membahas secara tuntas dasar hukum, sejarah, dan validitas peta Aceh versi 1 Juli 1956 yang hingga kini belum menjadi referensi resmi dalam penetapan batas.
Tiga Seruan Utama
Dalam pernyataan TM. Jamil Guru Besar USK disampaikan tiga butir permintaan kepada para pihak:
1. Wali Nanggroe Aceh agar memberikan klarifikasi terbuka terkait peta Aceh 1 Juli 1956 dan konteksnya dalam MoU Helsinki.
2. DPRA diminta memanggil pihak-pihak terkait untuk duduk bersama dalam forum resmi, termasuk Wali Nanggroe.
3. Perlu dibentuk tim kajian lintas keilmuan guna menelusuri dan mendokumentasikan peta historis Aceh secara valid.
Demi Masa Depan Aceh
“Kami tidak bermaksud menyerang personal atau melemahkan institusi. Justru kami berharap adanya dialog konstruktif yang dapat memperkuat posisi Aceh ke depan. Kepemimpinan tidak hanya ditandai oleh kehadiran simbolik, tetapi juga oleh keberanian bersuara dalam waktu yang dibutuhkan,” tutup . TM Jamil.(**)