Jeulamee, Antara Tradisi dan Realitas Sosial Ekonomi

Mahasiswi KPI USM Banda Aceh, Nisa Ulfitri.

Oleh: [Nisa Ulfitri]

Jeulamee—mahar dalam tradisi pernikahan adat Aceh—bukan sekadar emas yang diserahkan dalam prosesi akad. Ia adalah simbol tanggung jawab, kesungguhan, dan penghormatan seorang pria kepada perempuan dan keluarganya. Dalam sistem nilai masyarakat Aceh, jeulamee mencerminkan kesiapan lahir batin membangun rumah tangga.

Bacaan Lainnya

Namun, seiring waktu, nilai-nilai luhur itu menghadapi tantangan serius. Kenaikan harga emas dan ekspektasi sosial yang terus meninggi membuat jeulamee berubah dari lambang komitmen menjadi beban yang menakutkan. Banyak pemuda Aceh terpaksa menunda pernikahan, bahkan ada yang memilih menikah di luar negeri atau secara tidak resmi karena tidak sanggup memenuhi standar mahar yang kian tak rasional.

Lebih tragis lagi, ketika jeulamee dijadikan ajang pembuktian status sosial, bukan lagi sebagai wujud kesepakatan dan cinta. Akibatnya, pernikahan—yang semestinya menjadi jalan suci menuju kehidupan yang lebih bermakna—justru terhambat oleh konstruksi sosial yang semu. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan persoalan nilai dan tafsir budaya yang keliru.

Dalam konteks ini, masyarakat Aceh perlu melakukan refleksi bersama. Jeulamee harus dikembalikan kepada esensi awalnya: sebagai simbol niat baik, bukan ajang adu gengsi. Ulama, tokoh adat, dan para pemangku kepentingan sudah mulai mendorong pembaruan pandangan, termasuk menetapkan batas jumlah mayam yang wajar dan menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi lokal.

Sebab keberkahan sebuah pernikahan tidak ditentukan oleh berapa gram emas yang diberikan, melainkan oleh keikhlasan dan kesiapan kedua belah pihak dalam menjalani kehidupan bersama. Jeulamee yang bijak bukan berarti mengurangi makna, tetapi menyesuaikannya dengan realitas agar tetap menjadi tradisi yang hidup—bukan sekadar simbol kosong yang membebani.

Aceh dikenal dengan warisan adat dan nilai keagamaannya yang kuat. Namun kekuatan itu akan rapuh jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman. Maka mempertahankan budaya jeulamee tidak cukup dengan mempertahankan bentuknya saja, melainkan juga dengan menyelamatkan rohnya: tanggung jawab, cinta, dan kesederhanaan.

Karena sejatinya, tradisi yang baik bukanlah yang tak berubah, tapi yang mampu bertahan dan tetap relevan sepanjang zaman.(*)

Pos terkait