ACEHINDEPENDENT.COM – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menyita lahan perkebunan dengan luas 1.306,5 hektare (ha) dari dua perusahaan sawit terkait pengusutan dugaan tindak pidana pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang.
Kepala Kejati Aceh Bambang Bachtiar di Banda Aceh, Minggu, mengatakan lahan yang disita tersebut merupakan perkebunan PT Desa Jaya Alur Jambu dengan luas 429 hektare dan lahan perkebunan PT Desa Jaya Alur Meranti dengan luas 877,5 hektare. Kedua lahan tersebut berada di Kabupaten Aceh Tamiang.
“Kasus dugaan tindak pidana korupsi pertanahan tersebut dengan tiga tersangka, yakni TY, TR, dan M. Kasusnya masih berproses dan ketiga tersangka saat ini sudah ditahan,” katanya.
Selanjutnya, lahan perkebunan yang disita tersebut dititipkan kepada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I untuk pengelolaan dan optimalisasi aset yang disita tersebut.
Selain lahan perkebunan, penyidik juga menyita enam sertifikat tanah atas nama tersangka TY dan TR. Serta empat sertifikat hak guna usaha atas nama tersangka PT Desa Jaya di Desa Sungai Liput, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang.
“Sampai saat ini, penyidik masih memeriksa saksi-saksi dan tersangka. Taksiran kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp46,8 miliar,” kata Bambang Bachtiar.
Sebelumnya, penyidik Kejati Aceh menetapkan TY, TR, dan M sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang. Ketiganya diduga menguasai eks lahan hak guna usaha (HGU) dan dijual kembali kepada negara.
Tersangka M merupakan Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang. TY merupakan direktur perusahaan eks pemegang HGU dan TR diduga menerima uang ganti rugi dari tanah negara.
Kronologis perkara berawal dari penerbitan dua HGU perkebunan karet diberikan kepada PT Desa Jaya pada 1963. HGU pertama seluas 885,65 hektare dan HGU kedua dengan luas 1.658 hektare. Masa waktu kedua HGU tersebut selama 25 tahun. Izin HGU tersebut berakhir pada Agustus 1988.
Sejak izin HGU berakhir pada 1988 hingga sekarang, perusahaan tersebut tidak didukung alas hak dan perizinan melaksanakan usaha perkebunan. Pada 2009, TR selaku pengurus perusahaan mengajukan permohonan sertifikat hak milik di atas tanah milik negara.
Tujuan pengajuan sertifikat tanah, untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Padahal, tanah yang diajukan untuk penerbitan sertifikat tersebut adalah tanah milik negara.
Kemudian, M selaku Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang menerbitkan sertifikat tanah dari tanah negara tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut kepada TR dengan nilai Rp6,43 miliar.
Para tersangka disangkakan primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Serta subsidair melanggar Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.(*)
sumber: antaranews